Banda Sea Agreement
Membaca kembali Koran Kompas tertanggal 27 Februari 1978 yang memberitakan bahwa Indonesia mendapat hibah (Grant) sebesar US$ 2 juta dari Pemerintah Jepang, ini merupakan imbalan pemberian izin 100 kapal rawai tuna menangkap ikan di Laut Banda selama satu tahun, dan dikenal “Banda Sea Agreement”. Hibah tersebut dipergunakan untuk Kapal Latih Perikanan “Madidihang” sebesar US$ 1,5 juta dan Workshop Akademi Usaha Perikanan (AUP) sebesar US$ 300 ribu. Pemilihan nama Madidihang sebagai Kapal Latih AUP diambil dari buku “local common names of Indonesia fishes” untuk jenis Thunnus albacares di daerah Ambon yang merupakan ikan tuna paling dominan tertangkap di Perairan Indonesia. Pada saat itu Direktur Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian adalah Nizam Zahman.
Gambar Peta Banda Sea Agreement
“Banda Sea Agreement” muncul karena adanya konflik kepentingan antara Indonesia dan Jepang. Laut Banda dikenal sebagai daerah penangkapan tuna (tuna fishing ground) terbaik dunia. Sebelum Perang Dunia II, kapal-kapal rawai tuna Jepang aktif menangkap ikan tuna di Laut Banda. Jepang adalah penangkap tuna terbesar dunia periode tahun 1950 – 1970 dengan hasil tangkapan mencapai 40% dari total tangkapan dunia. Selain Laut Banda, daerah penangkapan tuna kapal-kapal Jepang meliputi Samudera Pasifik Bagian Barat, Samudera Hindia, dan Samudera Atlantik Bagian Selatan.
Pada tahun 1957, Indonesia mendeklarasikan Negara Kepulauan, dan memiliki hak kedaulatan atas perairan teritorialnya. Sejak saat itu kapal-kapal rawai tuna Jepang dilarang menangkap ikan di Laut Banda dan Perairan Indonesia lainnya. Pemerintah Jepang secara resmi mengajukan protes kepada Indonesia pada tahun 1957 dan 1960 karena merasa memiliki ‘hak ulayat’ turun temurun menangkap ikan di Laut Banda (traditional fishing rights). Hal ini menimbulkan konflik kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Upaya-upaya perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Jepang untuk mencari kesepahaman pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Laut Banda terus menerus dilakukan.
Perundingan berjalan sangat ketat, masing-masing negara membawa kepentinganya. Indonesia mengajukan usulan ‘joint venture’, tetapi pihak Jepang tidak tertarik. Pihak Jepang sangat berhati-hati dan belum bisa menerima konsep negara kepulauan Indonesia. Namun akhirnya kesepakatan diterima kedua belah pihak, karena Jepang menyadari bahwa Laut Banda tidak hanya dipadang sebagai mata pecaharian nelayanya, tetapi ada kepetingan yang lebih besar yaitu kerjasama ekonomi kedua negara. Akhirnya pada tahun 1968, kesepahaman terjadi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang (on behalf of the Nation Federation of Fiheries Cooperatives of Japan and Federation of Japanese Tuna Fisheries Cooperative Associations), dengan perjanjian membayar izin bagi kapal-kapal Jepang yang akan menangkap ikan di Laut Banda. Inilah awal mula “Banda Sea Agreement” sebagai kebijakan perikanan yang dihasilkan Generasi Pertama perikanan Indonesia, beberapa orang yang mewakili generasi ini adalah sarjana perikanan lulusan perguruan tinggi di Jepang.
“Banda Sea Agreement” diperbaharui setiap tahun melalui negosiasi dan perdebatan yang serius. Sepanjang tahun 1968 sampai 1975 tercatat lima kali perpanjangan kontrak dokumen perjanjian, dan Indonesia memperoleh pembayaran izin penangkapan sebesar US$ 147.640. Selain itu Indonesia juga mendapat hibah sebesar US$ 1.929.186 dan US$ 7.856.285 bantuan kredit lunak dari Pemerintah Jepang. Namun sesungguhnya hibah yang diberikan ke Indonesia adalah politik dalam negeri Pemerintah Jepang untuk memberi subsidi secara tidak langsung kepada nelayan rawai tuna mereka. Jumlah kapal yang menangkap ikan di Laut Banda melebihi jumlah kapal dalam kontrak perjanjian, dan pihak Indonesia dirugikan pada periode ini.
Selanjutnya, pada tahun 1975 “Banda Sea Agreement” direvisi kembali dengan bentuk baru berupa bantuan ekonomi dan pembagian keuntungan hasil tangkapan tuna dari Laut Banda. Dalam perjanjian ini, Indonesia mendapatkan paling sedikit 40% dari nilai keuntungan rawai tuna Jepang yang menangkap ikan di Laut Banda. Perjanjian ini sudah tentu lebih menguntungkan Indonesia dibandingkan perjanjian sebelumnya. Tetapi pada kenyataanya, laporan keuntungan kapal ikan Jepang sangat minimum (sering kapal rawai tuna Jepang melaporkan kerugian usaha penangkapanya). Pada periode ini ternyata pihak Indonesia dirugikan kembali.
Kemudian “Banda Sea Agreement” diperpanjang setiap tahun. Selama tiga tahun (1976-1978) nelayan rawai tuna Jepang diperbolehkan menangkap di Laut Banda dengan kuota 8.000 ton/tahun. Rata-rata hasil tangkapan tuna yang dilaporkan hanya 3.048 ton tuna/tahun. Selama periode ini Pihak Jepang selalu mengajukan permohonan izin lebih dari 100 kapal. Tetapi dalam laporan tahunan pertanggungjawaban perjanjian ini, pihak Jepang hanya melaporkan kapal yang menangkap ikan di Laut Banda sebanyak 23 kapal pada tahun 1975-1976, 35 kapal pada tahun 1976-1977, dan 33 kapal pada tahun 1977-1978. Laporan jumlah kapal yang beroperasi ini tentu berkaitan dengan pembagian hasil keuntungan dari tangkapan tuna dari Laut Banda untuk Indonesia, pada periode ini ‘sekali lagi’ pihak Indonesia dirugikan. Sepanjang periode 1976-1978, Indonesia selain mendapat bagi hasil keuntungan, juga mendapat hibah Kapal Latih Madidihang seharga US$ 1,8 juta dan perbaikan workshop AUP sebesar US$ 200.000. Sedangkan pihak Jepang (Japanese Federation of Fiheries Cooperative Associations) mendapat banyak keuntungan dari Overseas Fisheries Cooperation Foundation dalam rangka Pelatihan Penggunaan Peralatan Kapal dan Pendingin bagi nelayan Indonesia.
Untuk mengawasi eksploitasi sumberdaya perikanan pada kegiatan “Banda Sea Agreement”, pihak Indonesia menempatkan 8 (delapan) orang observer di kapal rawai tuna Jepang. Para observer dipilih dari sarjana lulusan Fakultas Perikanan IPB Bogor dan Sarjana Muda lulusan AUP. Kami berhasil melakukan wawancara mendalam terhadap 5 (lima) orang observer yang terlibat kegiatan “Banda Sea Agreement” tersebut. Kesimpulan dari hasil wawancara tersebut menjelaskan bahwa para observer di beri gaji sangat tinggi (20 kali gaji PNS pada saat itu). Observer dilayani dengan baik diatas kapal rawai tuna Jepang agar tidak melaporkan hal yang buruk kepada Pemerintah Indonesia. Catatan penting para observer pada saat itu menunjukkan bahwa jumlah kapal rawai tuna Jepang yang menangkap ikan di Laut Banda lebih dari jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian, dan banyak kapal rawai tuna yang memiliki nama dan nomor lambung yang sama.
“Banda Sea Agreement” yang terakhir terjadi pada tahun 1979, Pihak Indonesia dijanjikan mendapat keuntungan bersih 3,75% dari nilai jual tuna hasil tangkapan Laut Banda yang dilelang di Pelabuhan Jepang. Kuota penangkapannya sebesar 7.000 ton tuna/tahun. Pengecekan jumlah hasil tangkapan setiap kapal yang beroperasi di Laut Banda dilakukan di kapal induk yang berpangkalan di Ambon untuk selanjutnya dibawa ke Jepang. Namun pada kenyataannya ‘sekali lagi’ para nelayan kapal rawai tuna Jepang berlaku tidak jujur dengan tidak melapor ke kapal induknya di Ambon, tetapi langsung pulang membawa hasil tangkapanya ke Jepang. “Banda Sea Agreement” merupakan pengalaman penting bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia, ternyata kerjasama ini hanya menguntungkan pihak Jepang. “Banda Sea Agreement” ditutup tahun 1980 karena Indonesia merasa dirugikan dan menyadari bahwa ‘joint venture’ tidak akan pernah disetujui pihak Jepang. Laporan resmi dari Japan Fishery Agency pada periode 1970-1979 menunjukan bahwa hasil tangkapan tuna nelayan Jepang di Laut Banda sebesar 40.000 ton tuna dengan nilai US$ 20 juta. Pemerintah Jepang melakukan evaluasi ulang kerjasama ini, namun karena peningkatan harga bahan bakar minyak menjadi kendala utama kapal-kapal yang beroperasi di Laut Banda (contohnya, harga solar di Indonesia Rp.52,50/ liter tahun 1980 dan menjadi Rp. 242/ liter tahun 1986).
Kegagalan Indonesia dalam mengelola sumberdaya perikananya mendorong kita untuk belajar dari cara Amerika melakukan pengelolan dan pemanfaatan sumberdaya perikananya pada masa itu. Presiden Harry Truman tahun 1945 menyatakan bahwa Amerika akan memanfaatkan dan mengadakan pengawasan atas segala sumber laut yang berdekatan dengan wilayah Amerika Serikat. Dan Truman juga memproklamasikan pengawasan negaranya atas penangkapan ikan demi menjaga kelestarian ikan di wilayah lautnya.
Sejarah Berulang Ke Arah Yang Salah
Dua puluh tahun kemudian setelah “Banda Sea Agreement” berlalu, tepatnya pada tahun 2001, Indonesia kembali membuka kebijakan pemberian izin penangkapan bagi kapal-kapal ikan asing, kali ini di Laut Arafura. Ini terjadi pada era Kementrian Kelautan dan Perikanan, kita sebut saja ini Generasi Kedua perikanan Indonesia (banyak penentu kebijakan ini adalah sarjana perikanan lulusan Benua Amerika). Sampai akhir tahun 2013 ternyata hasilnya tidak memberi banyak manfaat bagi bangsa Indonesia, dampaknya malah membuat nilai kerugian akibat illegal fishing sebesar Rp 520 triliun bagi negara kita. Sebagai anak bangsa, kita boleh mempertanyakan, apakah kebijakan pemberian izin kapal ikan asing beroperasi di Laut Arafura menguntungkan Indonesia? Bila kita bandingkan kebijakan era Banda Sea Agreement 1968–1979 (Generasi Pertama perikanan) dengan kebijakan perizinan kapal asing di Laut Arafura 2001-2013 (Generasi Kedua perikanan), ternyata generasi kedua ‘tidak lebih cerdas’ dari generasi pertama, ini menunjukan kita tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu.
Kisah pencurian ikan oleh kapal asing bukanlah cerita baru, pada tanggal 30 September 1937, kapal Jepang “Tokei Maru” telah ditangkap oleh Angkatan Laut Belanda karena menangkap ikan di wilayah Indonesia (d/h Hindia Belanda). Setelah Indonesia merdeka, sebanyak 104 kapal ikan nelayan asing dari berbagai negara ditangkap di Perairan Indonesia tahun 1979 – 1981 (Kompas, 27 Januari 1982). Illegal Fishing dan kebijakan pemberian izin kapal ikan asing di Laut Arafura merupakan sejarah berulang ke arah yang salah. Mengingat kembali pidato Presiden Soekarno “ingat jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kita sangat berharap dan menunggu Generasi Ketiga perikanan Indonesia (lulusan dari Fakultas Kelautan dan Perikanan serta Sekolah Tinggi Perikanan d/h AUP) mau belajar dari sejarah serta mampu memanfaatkan sumberdaya perikanan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
Save our fishries resources.
0 Comments